“Bersama
hembusan angin musim dia sudah berlalu. Sudah terlalu jauh juga kurasa, takkan
mungkin terlihat lagi. Meski sepintas masih kucium aroma-aroma kemesraan dan
kedongkolan saat itu. Sungguh membuatku rindu akan 6 tahun silam saat
bersamanya. Entah angina mana yang membawanya kembali menyejeukkan
malam-malamku. Entah syair siapa yang membuatku terngiang akan kata cintanya”.
Kemudian reihan menepukku dari belakang sambil memeluk gitarnya yang saat itu
memecah bathinku.
“ rok*k dulu
bang !, (Tawarnya padaku).
Biar gak apakali,
Hahaha !.
“ Ya han. Kau
ini, bikin kaget awak aja yekan !.
“ Selow lah bang !, abang pun keras kali
mikirnya. Macam mikiri Negara kutengok.
“ Bising lah kau
han,. (maksudku untuk menutup candaan).
Sebenarnya aku masih ingin
menyendiri kala itu, berharap tak satupun orang yang terbangun dari lelapnya
malam. Pukul 01.30 memang saat – saat dimana imajinasi menjadi mesin waktu yang
seolah tak ingin memulangkanku ke keadaan yang nyata. Aku menikmatinya, sambil
aku memperbaiki apa – apa yang sudah menjadi kesalahnku hingga sampai saat ini
tersesesalkan. Raungan luka yang pernah kurasakan benar – benar kurasakan
seperti yang pernah terjadi dahulu. Saat melihatnya sudah berpaling secepat
otakku dalam memikirkan alasan untuk membohonginya. Dan kurasa takkan terulang
lagi sampai kapanpun. Ku teguk kopi hangat yang manis dan kental ini, untuk
mengingatkan ku bahwa hidpuku sekarang juga masih bisa merasakan kemanisan –
kemanisan tatapan manja para gadis yang ada disekitarku. Meski begitu, aku tak
lelah ketika setiap malam harus berjalan dengan mesin waktuku. Bernostalgia mengenangnya
pada 1 tahun terkahir ini. Semenjak aku lebih mengenal keluarganya yang tak
sengaja karna profesiku.